Renungan Jum'at Agung yang mulia.
Judul: “Salib di Jalan, Salib di Hati”
Jumat pagi itu datang perlahan, membawa suasana yang berbeda dari biasanya.
Kota Kupang mendung. Sebagian kota hujan rintik turun membasahi Kota Kupang, sebagian lagi hujan turun dengan derasnya disertai guntur yang didengar dari jauh. Suasana ini seolah- olah langit pun ikut menitikkan air mata mengenang peristiwa agung dua ribu tahun lalu ketika Yesus, Sang Anak Allah, memikul salib menuju Golgota.
Di halaman sebuah gereja sederhana, sekelompok pemuda sibuk bekerja. Meski hujan membasahi baju mereka, semangat mereka tidak luntur. Salib besar dari kayu telah berdiri tegak, dihias kain ungu dan bunga kertas yang basah. Spanduk bertuliskan “Jumat Agung: Mengenang Pengorbanan Kristus” dibentangkan di depan gerbang gereja. Iring-iringan pawai akan segera dimulai. Jemaat mengenakan pakaian serba hitam, dan lagu-lagu penghayatan mulai dilantunkan. Semua tampak begitu rapi dan teratur.
Namun, di antara keramaian itu, seorang guru agama tua bernama Pak Markus berdiri diam di bawah payung kecil di pojok halaman. Ia tidak ikut memberi arahan atau memegang mikrofon. Ia hanya memandangi salib kayu itu dengan sorot mata yang dalam, seperti sedang melihat sesuatu yang tak kasat mata.
Seorang anak muda, Rini, menghampiri. “Pak, salibnya sudah jadi. Bagus, ya? Tahun ini pasti pawai kita paling meriah, meskipun hujan.”
Pak Markus menoleh perlahan, tersenyum kecil. Tapi bukan senyum puas. Lebih mirip senyum getir. “Bagus, Rini. Tapi salib yang indah di jalan tidak selalu berarti salib itu ada di dalam hati kita.”
Rini mengerutkan kening. “Maksudnya, Pak?”
Pak Markus mengajak Rini duduk di bangku panjang di samping gereja, yang sedikit terlindung dari hujan oleh atap seng. Anak-anak muda lain ikut bergabung. Lalu ia mulai bercerita, dengan suara lembut dan tenang.
“Anak-anak, kalian tahu… ketika Yesus memikul salib-Nya, hujan mungkin tidak turun. Tapi hati-Nya penuh beban. Ia tidak memikirkan penampilan. Ia tidak memikirkan siapa yang menonton. Ia memikul salib dengan darah, air mata, dan pengampunan. Jalan salib itu bukan parade, tapi penderitaan yang dalam. Ia tidak hanya berjalan di depan orang banyak, tetapi menapaki jalan kesendirian dan penolakan. Demi kita.”
Semua terdiam.
“Kita sering kali sibuk dengan simbol,” lanjut Pak Markus. “Kita bikin salib besar, pawai sepanjang jalan, tapi bagaimana dengan hati kita? Apakah kita juga memikul salib Kristus dalam kehidupan sehari-hari? Atau hanya sekadar ikut ritual tanpa perubahan hidup?”
Pak Markus menghela napas, lalu berkata lirih, “Mempersiapkan Paskah bukan hanya soal membuat salib atau mengenakan baju hitam. Tapi tentang bertanya jujur: Apakah aku sudah mengampuni orang yang menyakitiku? Apakah aku sudah melayani dengan kasih? Apakah aku berani berdiri untuk kebenaran walau sendirian?”
Hujan terus turun perlahan. Salah satu anak muda, Maria, mulai meneteskan air mata. Ia baru menyadari bahwa ia ikut kegiatan pawai tiap tahun, tapi masih menyimpan benci pada ayahnya yang meninggalkan keluarganya. Yang lain juga mulai merenung tentang luka yang belum diampuni, tentang ketidakpedulian, tentang iman yang hanya sebatas rutinitas.
Akhirnya, anak-anak muda itu mengambil keputusan bersama: tahun depan mereka ingin melakukan sesuatu yang lebih. Setelah pawai selesai, mereka membagi makanan kepada para pemulung di pasar. Mereka mengunjungi panti jompo dan menyanyikan lagu Mengunjungi orang terpenjara. Mereka menulis surat pengampunan kepada orang-orang yang menyakiti mereka. Beberapa berani meminta maaf pada sesama anggota keluarga yang selama ini renggang karena masalah kecil. Semua dilakukan tanpa kamera, tanpa sorotan. Hanya untuk Tuhan.
Di malam Paskah, mereka berkumpul kembali di gereja. Hujan telah reda. Tidak ada dekorasi mewah. Hanya lilin-lilin kecil dan doa yang tulus.
Pak Markus berdiri di depan, matanya berbinar. “Inilah kebangkitan yang sejati. Bukan sekadar mengenang Yesus yang bangkit, tetapi mengalami kuasa kebangkitan itu dalam hidup kita—dari kebencian menjadi pengampunan, dari ego menjadi kasih, dari rutinitas menjadi kerinduan yang murni.”
Paskah pun bukan sekadar hari raya. Ia menjadi hidup yang baru.Hidup yang diperbarui.
Refleksi:
Sering kali kita mudah terjebak dalam simbol salib besar, lagu-lagu penghayatan, prosesi pawai tanpa benar-benar memaknai apa artinya memikul salib Kristus. Paskah bukan hanya soal Yesus yang bangkit, tapi juga undangan agar kita bangkit dari dosa, bangkit dari hidup lama, dan hidup dalam kasih yang nyata.
Doa:
Tuhan Yesus, ampuni kami jika selama ini kami terlalu sibuk dengan kegiatan rohani, tapi lupa mengizinkan Engkau bekerja dalam hati kami. Hari ini, kami tidak hanya ingin memikul salib di bahu, tetapi di hati kami. Ajarkan kami kasih-Mu yang sejati. Bangkitkan kami menjadi manusia baru yang mengasihi, mengampuni, dan melayani. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar